Tauhid
dapat dartikan sebagai keyakinan bahwa Allah SWT sebagai sumber atau
asal segala sesuau. Segala sesuatu adalah ciptaanNya,[1] dan segala sesatu akan kembali kepadanya.[2]
Pengakuan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, segala sesuatu adalah milik Allah menempatkan tauhid atau keimanan kepada Allah sebaga inti dari ajaran Islam. Ajaran tauhid mejadi petunjuk dan sekaligus dasar dari segala perilaku umat Islam, termasuk perilaku ekonomi. Dalam bahasa hukum ketatanegaraan modern, dapat dikatakan bahwa tauhid
merupakan inti dari konsitusi Islam. Dalam arti ini, maka semua
supremasi konstitusional adalah kepunyaan Allah dan tak ada sesuatu pun
yang bertentangan dengannya. KehendakNya harus dipatuhi, diterima,[3] dilaksanakan dan disebarluaskan.
Terkait
dengan kegiatan ekonomi, maka segala sumber daya di langit dan di bumi
diciptakan dengan tujuan untuk melayani kepentingan umat manusia.[4] Allah sendiri dengan firmanNya menempatkan manusia sebagai khalifahNya.[5] Khalifah dapat diartikan sebagai pemerintah, sebagai pemegang mandat, atau sebagai wakil. Intinya, sebagai khalifah, manusia adalah pemegang amanah Allah.
Sebagai pemegang amanah
Allah, manusia berkewajiban memakmurkan alam semesta. Ia berkewajiban
menjaga dan memilihara kelestarian lingkungannya. Manusia diberikan
kewenangan untuk mengelola, mengeksploitasi dan mengeksplorasi alam
untuk kesejahteraannya, kesejahteraan masyarakat dan bangsanya, dan
mereka dilarang untuk merusaknya.[6]
Sejalan
dengan ini, manusia dapat menggunakan usaha mereka seoptimal mungkin
untuk membebaskan masyarakat Islam dari tekanan kebutuhan dan menjamin bahwa perorangan di dalam masyarakat terlepas dari kepercayaan dan ideologinya, dijamjin pemuasaan (satisfaction)) kebutuhannya melalui kerjanya atau lembaga-lembaga di dalam masyarakat sekalipun output atau incomenya
tidak cukup untuk memuaskan kebutuhannya. Konsep pemuasan kebutuhan di
dalam Islam melampaui konsep eonomi tradisional mengenai kebutuhan
dasar (basic needs).[7]
Kegiatan ekonomi yang dilandasi tauhid ini dimaksudkan untuk memperoleh falah, yakni
kemulian dan kemenangan, yakni kemuliaan dan kemenangan di dalam hidup.
Kemuliaan dan kemenangan di dalam hidup ini, mencakup kemuliaan dan
kemengan di dunia dan kemenangan dan kemuliaan di akhirat. Untuk
kepentingan dunia, falah mencakup kelangsungan hidup abadi, kebebasan berkeinginan, serta kekuatan dan kehormatan. Untuk kehidupan di akhirat, falah berarti kelangsungan hidup, kesejahteraan, kemuliaan, dan pengetahuan yang abadi.[8]
Pengakuan akan kegiatan ekonomi yang berbasis tauhid
berarti, bahwa segala hal yang terkait dengan kegiatan ekonomi harus
dilandasi pada kehendak atau norma-norma atau hukum-hukum Allah. Maka,
semua perilaku Muslim, termasuk di dalamnya perilaku ekonomi, dilandasi
pada tata nilai, etika, dan peratur-peraturan yang ditetapkan Allah.[9]
Tata
nilai, etika dan hukum-hukum yang merupakan perujudan dari kehendak
Allah, pertama-tama dapat ditelusuri di dalam al-Qur’an,[10]
selanjutnya dari al hadits, berupa perbuatan atau perkataan Rasulullah
mengenai perilaku yang merepresentasikan dengan sangat lengkap
pelaksanaan dari peraturan-peratuan di dalam Qur’an.[11]
Selain
itu, sesuai dengan penghargaan Islam terhadap ilmu dan akal, Allah juga
menetapkan sebagai salah satu alat dalam penetapkan hukum adalah ijtihad,[12]
yaitu memanfaatkan kemampuan penalaran secara optimal untuk menemukan
ketentuan hukum, atau menetapkan hukum dari sesuatu yang ketentuannya
tidak jelas atau belum ada di dalam Qur’an dan Sunnah.
II. Permasalahan
Dari
paparan di atas, jelas bahwa segala bentuk perilaku manusia Muslim
harus ddilandasi tauhid. Masalahnya, adalah bagaimana wujud hukum
ekonomi Islam yang berbasis tauhid tersebut? Bagaimana
prinsip-prinsipnya, dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan nyata?
III. Pembahasan
Konsep tauhid terkait dengan (hukum) ekonomi Islam adalah bahwa (1) segala sumber daya atau kekayaan berasal dari Allah, (2) penggunaannya ditentukan atau diatur oleh Allah.
1. Segala sumber daya berasal dari Allah
Allah menciptakan langit dan bumi untuk kepentingan manusia. Di dalamnya terdapat berbagai kekayaan atau sumber daya,[13]
yang dapat dikelola dan dikembangkan guna mewujudkan kesejahteraan dan
kemakmuran manusia perorangan dan seluruh masyarakat atau umat manusia,
serta lingkungan alamnya.
Berbeda dengan faham ahli ekonomi knvensional, yang menyatakan sumber daya ini terbatas dalam artian mutlak (absolut scarcity),
maka menurut para ahli ekonomi Islam, yang disimpulkan dari pemahaman
mereka terhadap firman-firman Allah di dalam Qur’an, kelangkaan sumber
daya ini tidak bersifat mutlak. Ini sejalan dengan ketentuan al Qur’an
Surat Al Hijir ayat 19-21.
Dan
Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan
Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah
menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami
menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi
rezki kepadanya. Dan
tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya, dan Kami
tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.
Maksud dari ayat-ayat adalah: (1) Allah yang menciptakan bumi, membuatnya stabil dan cocok untuk kita; dengan kehendakNya,
tanaman dan tumbuh-tumbuhan tumbuh dan menghasilkan segala jenis benda
dalam keseimbangan; (2) sumberdaya alam ini diciptakan Allah cocok
dengan kehidupan manusia, dan makhluk-makhluk lainnya yang diciptakanNya dan
yang dipeliharaNya untuk kesinambungan mereka; (3) ayat 19 dan 20
menginformasikan kita bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dalam
jumlah yang cukup untuk kelangsungan hidup semua makhluk termasuk manusia. Maka, tak seorang pun dapat berbicara mengenai kelangkaan mutlak. Makna ayat
21 memberikan dasar filosofis mengenai “kelangkaan relatif”. Mengikuti
Imam Razi, semua saranan-sarana yang mungkin dan potesial bagi
kehidupan hanya dapat diwujudkan dengan Kehendak dan Kekuasaan Allah.
Apa yang diberikan Allah untuk kehidupan manusia di bumi adalah tak
terbatas, yang sesuai dengannya, akan tetapi yang diperoleh makhluk di
bumi pada suatu masa tertentu adalah terbatas sesuai dengan sifat dunia
kita dan jangka waktu kehidupan. Tafsiran lain atas ayat
21 semua pemberian dan energy yang sangat banyak berasal dari Allah,
Pencipta dan Penyinambung kehidupan dunia. Dan apa yang kita lihat atau
terima atau bayangkan hanya sebagian kecil dari apa yang ada. Bagian
ini disediakan Allah bagi kita dan dunia sesuai dengan kebutuhan kita
dari waktu ke waktu. Bagian ini sangat terbatas sesuai dengan peraturan
dan rencana (Allah). Sumbernya tak tak terbatas dan tak ada habisnya.[14]
Kelangkaan relatif sumber daya ini mengharuskan Muslim perorangan maupun keseluruhan untuk
menggali, mengelola dan mengembangkannya. Muslim diwajibkan menuntut
ilmu agar mampu menguasai atau menundukkan alam semesta. Mereka
diwajibkan untuk menuntut ilmu agar mampu mengembangkan keahlian mereka
untuk mengekploitasi dan mengeksplorasi sumber-sumber kekayaan alam
baik yang kasat mata maupun yang terkandung di dalam perut bumi, baik
yang terdapat di darat, di laut maupun di udara. Muslim
juga didorong untuk mengembangkan berbagai macam barang dan jasa yang
dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, kebutuhan masyarakatnya, dan
seluruh umat manusia, makhluk-makhluk lainnya, termasuk lingkungan alam
sekitarnya.
Allah melalui firmanNya melarang kaum Muslimin untuk hanya mementingkan diri sendiri,[15] berperilaku boros,[16] dan kikir.[17] Sebaliknya, Allah memerintahkan agar Muslim memperhatikan ibu, bapak, dan kerabat mereka, serta peduli kepada fakir miskin[18] dan anak yatim.[19]
2. Penggunaan sumber daya ditentukan oleh Allah
Dalam Qur’an ditegaskan bahwa iman dan takwa merupakan syarat bagi pertumbuhan.[20] Di dalam Qur’an Surat Al-A’raf Allah berfirman.
“Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya”.
Kataan
“beriman dan bertakwa”, mengandung pengertian bahwa jika di dalam
kehidupannya, termasuk dalam melaksanakan kegiatan ekonminya manusia
berpegang dan mengikuti petunjuk Allah dan RasulNya melalui
ketetapan-ketetapan hukumnya, maka pastilah mereka akan diberikan
berkah yang melimpah dari langit dan bumi. Dengan kata lain, dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatan ekonominya Muslim harus berpegang kepada
kehendak Allah yang diterakan di dalam wujud nilai, etik dan
hukum-hukumNya.
Kehendak Allah sebagaimana ditegaskan di dalam Syari’ah harus diwujudkan.[21]
Apa yang dikehendaki Allah dapat dipahami melalui petunjuk Allah di
dalam Kitab Sucinya, al-Quran, dan Sunnah Rasulnya. Dalam Al Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 2 Allah menegaskan bahwa Kitab
SuciNya merupakan petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Dalam Surah
lainnya, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mematuhi
Allah, mematahui Rasul, dan ulil amriNya.[22]
Petunjuk-petunjuk
Allah yang berisi nilai, etika, dan norma hukum. nilai, etika, dan
norma hukum ini adaalah: (1) menyeimbangkan kehidupan duniawi dan
ukhrawi; (2) tidak melakukan kerusakan; (3) kepedulian terhadap
keluarga dan masyarakat; (4) memproduksi dan mengkonsumsi barang dan
jasa yang halal; (5) tolong menolong; (6) bersyukur atas keberhasilan
dalam usaha.
(1) Menyeimbangkan kehidupan akhirat dengan dunia
Islam
menghadapkan pemeluknya pada realitas kehidupan. Dalam menghadapi
kenyataan hidup, sebagaimana manusia lainnya manusia Muslim juga
memerlukan pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, kebutuhan dunia dan
ukhrawi. Sejalan dengan ini Allah memberikan petunjukNya kepada
orang-orang yang beriman untuk menuntut kehidupan di akhirat dengan
tidak melupakan tanggung jawabnya di dunia.
Di dalam Qur’an Surah Al Baqarah ayat 177 ditegaskan bahwa kebaikan itu bukan sekedar menghadap Timur dan Barat, akan
tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari
kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan
harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, musafir dan orang-orang yang meminta-minta; dan
memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang
yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka
itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang
yang bertakwa.
Dari
ayat ini, keimanan kapada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat-kitab, nabi-nabiNya, mendirikan shalat dan
memerdekakan budak dikaitkan dengan soal-soal yang berkaitan dengan
ekonomi. Soal-soal yang berkaitan dengan ekonomi itu memberikan harta
yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, musafir dan orang-orang yang meminta-minta;
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Tanggung
jawab di dunia, berarti setiap Muslim memiliki tanggung jawab untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari untuk dirinya sendiri, dan untuk
keluarganya. Selain itu setiap Muslim juga memikul tanggung tanggung
jawab untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan memberikan
perhatian kepada keluarga, orang miskin, ibnu sabil,[23] dan anak yatim.[24]
Di dalam Surah Al-Jumu’ah ayat 9 dan 10 Allah berfirman:
Hai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at,
maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Apabila
telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.
Dengan
demikian, jelas bahwa Islam tidak pernah melarang umatnya untuk
mengejar kesenangan, atau kebahagian duniawi. Islam hanya melarang para
pemeluknya untuk terlena dalam kehidupan dunia, dan melupakan akhirat,
padahal kehidupan di akhirat adalah lebih kekal dan itulah kehidupan
yang sesungguhnya.
Memang dalam banyak ayat al-Our’an ditegaskan bahwa kehidupan akhirat lebih utama daripada kehidupan di dunia.[25]
Akan tetapi juga patut diketahui untuk sampai kepada kehidupan akhirat
setiap orang akan melalui kehidupan duniawi. Selain itu, kegiatan
ekonomi apa pun yang dilakukan di duniawi apabila sesuai dengan
tuntunan Ilahi semuanya akan memiliki ibadah di sisi Allah. Misalnya,
melakukan jual beli tanpa melakukan penipuan, penyesatan merupakan
salah satu jalan menuju kebahagiaan di akhirat kelak
(2) Tidak melakukan kerusakan
Bumi,
air dan ruang udara, dan ruang angkasa diperuntukkan bagi manusia agar
didayagnakan dan dikembangkan untuk kemaslahatan bersama umat manusia.
Dalam memanfaatkan bumi, air, ruang udara dan angkasa ini, harus
diperhatikan kelesariannya. Manusia sebagai khalifah dibumi harus mengelola alam semesta, memberikan nilai tambah padanya, dengan memperhatikan kesinambungannya untuk generasi yang akan datang.[26]
Islam
sangat mencela mereka yang hanya mementingkan diri sendiri, mengejar
kebahagiaan sendiri dengan mengorbankan orang lain, seperti
mengeksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan mereka sendiri yang
berakibat pada rusaknya sumber daya alam tersebut.[27]
Akibatnya, generasi yang akan datang tidak dapat memanfaatkan sumber
daya alam ini. Bahkan, mungkin mereka terbebani untuk memulihkannya,
dan membayar hutang yang telah dibuat oleh generasi sebelumnya.
Perbuatan
melakukan kerusakan di bumi, sangat dicela Allah. Ini ditegaskan di
dalam Q.2:195. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa “…. Dan
apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan
kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan
Allah tidak menyukai kebinasaan.
(3) Kepedulian terhadap keluarga dan masyarakat
Untuk mengatasi ketimpangan ekonomi dan sosial Islam memecahkannya melalui lembaga nafaqah, fidyah, kiffarah, dam, diyat dan qurban.
Nafaqah ada dua, yaitu (a) nafaqah sunnah, dan (b) nafaqah wajib. Nafkah sunnah diberikan kepada kerabat, fakir, miskin, anak yatim, orang yang di dalam perjalanan (ibnu sabil), orang yang meminta atau menuntut haknya (assailin), dan orang yang memerdekakan budak.[28] Nafkah wajib, adalah zakat yang harus dikeluarkan oleh setiap Muslim yang telah memenuhi syarat,[29] kepada para mustahiq. Mustahiq, orang yang berhak menerima zakat terdiri atas delapan golongan, yaitu kepada orang-orang:
fakir, miskin, pengurus-pengurus zakat, mu'allaf yang dibujuk hatinya,
yang memerdekakan budak, yang berhutang, di jalan Allah, dan yang
sedang dalam perjalanan (Q.9 (At-Taubah:60).
Fidyah penggantian yang dikeluarkan oleh seseorang yang karena sakit atau karena usianya tidak dapat melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Fidyah ini diberikan kepada seorang miskin untuk setiap puasa yang ditinggalkan.[30]